Surau Al Huda Kampung Talang Tansaidi menyimpan sepenggal sejarah PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) di Nagari Kambang, Kecamatan Lengayang, Kabupaten Pesisir Selatan. Surau ini kemudian juga pernah diberedel PKI (Partai Komunis Indonesia) menjelang meletus Gerakan 30 September. Surau ini hidup dan mati seiring tekanan zamannya.
Puluhan tahun terkatung katung dan bahkan “mati” sama sekali pasca diberedel PKI. Surau itu terletak di Kampung Talang TS, Nagari Kambang dan berdiri pada lahan seperempat hektare, tanah milik Kaum Suku Kampai Datuak Pado Basi.
Baharuddin M.Pdi (73), pembina Surau Al – Huda memaparkan, surau itu dibangun pada tahun 1954 oleh Datuak Pado Basi dengan batuan anak keponakan Kaum Kampai. Pembangunan itu dilaksanakan setelah melalui diskusi dengan Imam di Masjid Al Imam Koto Baru. Koto Baru memberikan lampu hijau untuk mendirikan surau tempat membina anak kemenakan di Kampuang Talang TS dan Sekitarnya. Pengurus pertama Surau Al Huda adalah Datuak Pado Basi, Kasab Rajo Yaman, Marah Syamsu dan lain lain.
Menurut Baharuddin, bagi warga dihiliran Batang Lengayang kehadiran Surau Al Huda ketika itu disambut dengan baik. Pada awal didirikan bangunan surau tidak seperti sekarang, dimana surau memiliki satu kubah bulat dan agak besar, didepannya terdapat kubah kecil. Kehadiran surau itu memberikan pengaruh kepada pemikiran generasi muda saat itu.
“Surau digunakan untuk membekali anak muda. Berbagai ilmu diajarkan disana, mulai dari soal agama hingga soal adat. Dan yang terpenting yang saya ingat kemudian adalah, Surau Al-Huda seolah berkembang menjadi basis pergerakan PRRI di sana,” katannya.
Menurutnyanya ketika PRRI dideklarasikan 15 Februari 1958 maka terjadi ketidak harmonisan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Penggerak PRRI ditingkat nagari kebetulan beberapa orang diantaranya adalah pengurus Surau Al-Huda, misalnya Marah Syamsu, Kasab Rajo Yaman, Datuak Pado Basi.
“Lalu ketika PRRI, pintu surau di silang dengan cat berwarna merah dan dibawahnya ada tulisan yang intinya tentang penumpasan PRRI dan aktivisnya. Maka seluruh pengurus surau yang menjadi penggerak PRRI tingkat nagari ketika itu mengungsi dan bergerilya ke dalam hutan,” katanya.
Mulai saat itu menurut Baharuddin, aktifitas di surau terhenti. Tidak ada yang berani melakukan aktifitas di surau karena takut ditduh terlibat PRRI. Semasa pertikaian itu, anak anak surau terpaksa belajar ketempat yang lebih aman.
Rupanya setelah PRRI, menjelang tahun 1965, kondisi politik di negara semakin tak karuan. PKI menguasai pentas politik nasional. Ini juga berdampak pada surau kecil di Talang TS. Pengrus pada umumnya adalah warga Masyumi dan Muhammadiyah. Surau ini kemudian menjadi incara PKI.
“Jadi semenjak PRRI kemudian berlanjut pada tampilnya PKI dipentas politik nasional, Surau Al Huda tak bisa berjalan. Karena terlalu lama fakum, maka pasca G 30 S, pengurus surau sudah banyak yang terserak keberbagai tempat dan nasib suraupun semakin memprihatinkan,” katanya.
Awal tahun 1990, bangunan surau sudah sangat rapuh dan akhrnya roboh dan rata dengan tanah. Lalu beberapa waktu lalu, Kaum Kampai Pado Basi kembali merekonstruksi bangunan surau. “Desain dan bentuk fisik surau dibuat berbeda dari aslinya, tapi yang penting adalah bagaimana semangat surau ini kembali hidup di kawasan tempatnya berdiri. Kini kegiatan disurau yang berganti nama Mushalla Al-Huda itu telah lancar,” kata Baharuddin menutup pembicaraan.