Di Pesisir Selatan, Provinsi Sumatera Barat, tepatnya di Kecamatan Lengayang pernah berlaku mata uang yang disebut “Uang Lengayang”. Uang tersebut ada juga yang menyebut Pitih Kambang. Satu satunya di Sumatera Barat ada daerah yang mencetak mata uang sendiri. Berikut penulis kembali menuturkan kisah orang Lengayang mencetak mata uang sendiri.
Perjuangan Kemerdekaan NKRI selama perang Kemerdekaan 1945 – 1949 berlangsung ditengah tengah kemiskinan akibat penjajah. Kemiskinan itu tentu berdampak pada banyak sektor. Termasuk dana untuk membiayai perang kemerdekaan melawan penjajah sangat minim. Rakyat yang miskin terus bahu membahu mendukung para BKR.
Pemerintah militer Jepang sangat otoriter bertindak sewenang – wenang. Padi rakyat setelah panen diambil begitu saja, baru saja selesai disabit atau dituai dipaksa untuk megantarkan ke gedung M.B.K di Pasar Kambang, tak peduli meski bulan puasa. Begitu pula dengan ternak. Sapi rakyat diambil begitu saja untuk keperluan pestapora bangsa Jepang di markas militernya.
Perlakuan lain terhadap rakyat adalah, orang – orang yang terbilang kuat fisiknya dan disuruh kerja rodi di Logas biar tidak menjadi centeng lalu melawan terhadap Jepang. Ternyata setiba di Logas, disana banyak yang mati kurang makanan, kurang asupan gizi.
Yang muda – muda belum berkeluarga dilatih menjadi Sie Neng Dang. yah semacam tentara juga. Maka dikenallah penanggung jawabnya bernama Anwar Dt. Pintu Langit. Nama ini hingga kini masih sering disebut sebut di Lengayang. Entah apapula prestasinya selama menjadi penanggunga jawab Sie Neng Dang. Pelatih Sie Neng Dang adalah Yusar Bagindo Rajo Bukik, Saidi Salim, Marah Samsu (ini adalah kakak nenekku dari pihak ibu) dan Cakap Sutan Mangkudun.
Lantas bagi orang dewasa yang sudah kawin dilatih menjadi Bagodang. Di zaman Jepang membunuh orang seperti membunuh kodok saja, tidak ada lagi rasa kemanusiaan yang ada hanyalah “siapa lawan siapa”, orang cerdik pandai dan terpelajar, ulama diles hitam (dihabisi) dan dihabisi di Kalimantan.
Rakyat ketika itu makan sagu, pisang muda diiris kemudian ditanak dengan sedikit beras, makan ubi kayu gaplek. Kadang makan gadung celeng yang tumbuh dihutan seperti buah bengkuang, ukurannya sebesar tudung, ia mengandung racun. Untuk menghilangkan racunnya diiris tipis kemudian diaduk dengan abu dapur ditunggui selama tiga malam selanjutnya direndam disungai selama lima malam, barulah racunnya hilang, setelah itu ditanak atau dibuat bubur.
Pakaian rakyat kebanyakan dari goni kasar, tarok dan goni halus. Ketika itu penyakit pokan dan campak berjangkit pula. Lengayang dan sekitarnya jadi pandemi. Banyak rakyat mati, tiap hari ada saja yang harus dikubut. Tuma dan kepinding mengisap darah dari pakaian tadi. Demikian sekelumit penderitaan anak bangsa selama 3,5 tahun.
.
Setelah proklamasi kemerdekaan, kenagarian Kambang dan Lakitan terpisah dari Balai Selasa menjadi Otonom. Di zaman Belanda dan Jepang segala urusan harus ke Balai Selasa misal Pos, Telephon, Pengadilan dan lainnya. Ketika berpisah menjadi otonom berdirilah Kecamatan Lengayang dengan Wali Otonomnya Husin St Ibrahim.
Dimasa revolusi fasik, pemerintahannya berwujud militer, tidak seperti sekarang, ketika itu pemerintahan memang terkesan angker, berwibawa, menakutkan dan represif. Bayangkan saja Gubernur disebut Gubernur Militer, Bupati disebut Bupati Militer, Camat Militer dan lebih hebatnya ditingkat nagari, walinya disebut Wali Perang.
Maka nagari Kambang Wali Perangnya Makripat Umar St. Ibrahim. DHN : H. M.Nur, Buya Dinar Khatib Sulaiman, Jamar Rajo Sutan, Syabirin, Zuki Bgd Sulaiman, H. Abdul Manan.
Sementara DHN Lakitan Syuib Maha Rajo, Tamar Mandaro Basa, Makrifat Umar St. Ibrahim, Naru Lukman, Berok, Djair Khatib Mulia. Orang inilah yang membantu jalannya roda pemerintahan di Lengayang.
Kita telah mewarisi pemerintahan yang miskin dari tangan Jepang, keuangan minus, rakyat melarat, persoalannya adalah dengan apa para penyelenggara pemerintah seperti pegawai, tentara, polisi digaji. Meminta kepada rakyat tidak mungkin rakyat sudah sengsara dan miskin. Maka dengan keputusan DHN dibentuklan Badan Penolong Kesengsaraan Korban Perang (BPKKP). Ketua BPKKP H. M.Nur, Sekretaris dan keungan Djamar Rajo Sutan. Petugas retribusi di Kambang Kirin Sutan Mangkudun dan di Lakitan Ilyas Bandaro Itam.
Maka dicetaklah karcis Rp. 10 dan Rp 5. Stempel dibuat oleh Syamsul Bahri dan dicetak oleh Rusli Nur di Koto Kandih. Setiap orang yang membawa minyak goreng satu kaleng dikenakan retribusi Rp 10, Rokok nipah satu beban Rp 10, garam halus satu sumpit Rp 10, ikan kering 1 sumpit Rp 10. Barang barang ini dujual ke Muara Labuh.
Setelah berjalan beberapa bulan, dana itu tidak memadai, maka dengan keputusan DHN dicetaklah Uang Lengayang dengan nilai Rp 25. Ketua percetakan dipercayai kepada Yunus Rang Batuah, Sekretaris Erman, Bendahara Dinar Khatib Sulaiaman. Uang Lengayang tersebut mulai dicetak pada 1 Mei tahun 1948 dirumah Tinta.
Harta Benda Terjual, Uang Tak Berlaku Lagi
Setelah Agresi Belanda ke II, 19 Desember 1948 percetakan pindah ke Koto Kandis di rumah M.Nur, kemudian rumah tersebut dibakar Belanda akibat dihadang Gabungan Tentara Indonesia dekat Lubuk Aguang dalam upaya menggagalkan gerakan pasukan Belanda ke Koto Pulai.
Akibat huru hara, percetakan dialihkan ke Sari Bulan Koto Pulai, tepatnya dirumah Marusat. Setelah merasa aman percetakan pindah ke Koto Pulai dirumah Lagak. Bendahara saat itu dipegang Barai Subanda. Tak berapa lama percetakan uang dipindahkan ke rumah Siah (Kini sudah di pugar) masih di Koto Pulai.
Untuk urusan cetak mencetak uang maka dibentuk pula pengurus. Ketua : Junui Rang Batuah, Sekretaris : Erman, Keuangan / Bendahara : Buya Dinar Khatib Sulaiman, Umar Tuanku Kambang, Barai Subanda
Anggota adalah Syamsul Bahri (Pembuat Stempel), M.Nur, Bakri, Gaek Raden Sulaiman, Zulkifli, Zubir, Agus Ilyas, Amir Hamzah, Abd Karim, Lukman, Tirin, Marsik, Abd. Rahman, Katik, Junit, Jurutulis, Nursamah, Nurdjanah, Awin, Burhan
Komandan militer di Kambang Zulkifli alias Zoro, wakil Nahar dan M. Taher. Disurantih Alam, Ditapan Mansur Samik dan Munir Ahmad di Bayang Muhni Zen dan dan Munir Kasim. Orang inilah yang selalu datang mengambil uang kepercetakan. Artinya uang Lengayang tidak hanya menjadi alat tukar di Lengayang, akan tetapi hampir seluruh Kecamatan di Pesisir Selatan.
Mencetak Uang Republik Indonesia Pembayaran Sementara (U.R.I.P.S)
Setelah tentara Belanda menduduki Sungai Penuh / Kerinci, Bupati PSK (Pesisir Selatan dan Kerinci) bersama staff Mayor Alwi Sutan Marajo dengan pasukannya Singa Barantai, menyingkir ke Kurao Balai Selasa. Saat Kurao dimasuki Belanda, Bupati Aminuddin St Syarif, Mayor Alwi dan pasukan GATI bersama kekuatan yang ada melakukan dislokasi ke Koto Pulai. Hal ini menambah berat beban pemerintah, terutama dalam hal pembiayaan perjuangan. Percetakan uang Lengayang ketika itu sudah berhenti.
Berdasarkan pada instruksi Gubernur Militer Sumatera Barat no 15 tanggal 19 Januari 1949 yang memberi mandat kepad Bupati, maka bupati militer PSK mencetak uang Kabupaten sebagai pengganti uang Lengayang yang dikenal dengan URIPS dan berlaku untuk PSK. Uang Kabupaten PSK dicetak dengan nominal atau pecahan Rp. 50 dan Rp 25. URIPS berlaku sampai cease fire order (perintah penghentian tembak menembak).
Berbeda dengan uang Lengayang yang dicetak dengan stempel maka URIPS dicetak dengan stensil diatas kertas HVS. Untuk mendapatkan kertas ini, ditugaskan Abu mencarinya ketanah tumbuh.
Personil yang bertugas dalam pencetakan URIPS adalah semua personil yang mengerjakan pencetakan Uang Lengayang, kecuali bagian keungan yang semula Barai Subanda diganti dengan Burhanuddin.
Saat URIPS mulai beredar, ditangan rakyat masih beredar uang Lengayang. Ini adalah sebuah masalah baru. Supaya rakyat tidak dirugikan, maka pemerintah Kabupaten PSK mengirim utusan yang terdiri dari M. Nur, Lukman Rajo Mansyur, menemui pemerinta PDRI/Gubernur militer di Abai Sangir untuk meminta supaya dapat menarik uang Lengayang yang ada ditangan rakyat dan mengganti dengan URIPS. Utusan ini tidak berhasil sampai ke Abai Sangir, karena Muara Labuh dan Lubuk Gadang sudah diduduki Belanda, jalan ke Abai Sangir tertutup. Utusan kembali ke Koto Pulai dengan selamat namun dengan kekecewaan.
Setelah penyerahan kedaulatan oleh Belanda kepada Indonesia. Kolonel Dahlan Djammbek dan Mayor Alwi datang ke Koto Pulai, menjelaskan kepada rakyat bahwa rakyat bolehg pulang kerumah masing masing.
Sementara itu uang Lengayang dan URIPS masih beredar ditengah rakyat. Suatu kejadian yang disesalkan adalah keluarnya ultimatum pemerintah tentang tidak berlakunya uang Lengayang secara mendadak pada hari Kamis (hari Pasar di Koto Baru), sehingga rakyat yang telah menjual hasil tani dengan uang Lengayang tidak dapat berbelanja. Karena kecewa dan kesal mereka mereka menghancurkan Uang Lengayang yang ada. Itulah sebabnya untuk mendapatkan lembaran uang lengayang untuk dokumentasi sangat sulit, sebab tidak ada rakyat yang menyimpannya.
Kawan Muda, saat peraturan ini dilaksanakan banyak warga yang jatuh sangat miskin. Pemerintah tak punya inisiatif untuk menggantinya. Dibiarkan saja rakyat menanggung beban. Idealnya, ketika ini diberlakukan harus ada uang pengganti. (Haridman Kambang)
Video Uang Lengayang
Video Detail Uang Lengayang