IKUTI
INFO PASISIRANCAK
  • 2 tahun yang lalu / info libur lebaran 2022 ekowisata penyu ampingparak: tiket masuk Rp10.000, sewa kano Rp25.000/30menit, sewa perahu listrik Rp150.000/jam
  • 2 tahun yang lalu / konservasi penyu ampingparak berencana realese 1.500 ekor tukik (anak penyu) saat libur lebaran 2022
  • 2 tahun yang lalu / Pokdarwis LPPL Amping Parak Sediakan Bibit Cemara Laut. Harga @15.000/batang
LUKMAN, PERAJIN ANYAMAN KAMPUNG AKAD KAMBANG

LUKMAN, PERAJIN ANYAMAN KAMPUNG AKAD KAMBANG

Oleh : Haridman - Kategori : Produk Wisata
28
Apr 2022

BERTAHAN DENGAN MODAL KECIL DAN PASAR YANG TIDAK MENENTU

LAPORAN : HARIDMAN KAMBANG

Kampuang Akad, Nagari Kambang Utara, Kecamatan Lengayang adalah kampung yang berbatasan langsung dengan TNKS (Taman Nasional Kerinci Sebelat). Di sebelah timurnya, warga harus menjaga hutan agar tidak rusak, sementara sekitar 200 KK merupakan warga yang hidupnya tidak pernah lepas dari potensi hutan.

Lukman (65) adalah salah satu warga Kampuang Akad yang menggantungkan hidup dari hasil hutan, yakni menjadi pengrajin anyaman berbahan rotan. Kegiatan ini telah ia lakoni bersama istrinya Nurbaiti (60) semenjak bertahun – tahun. Produksi anyamanya bermacam macam, mulai dari tudung, sanggan, tas, ayunan bayi, topi dan lain – lain.

Dalam menjalankan aktifitasnya, Lukman memang seringkali menemui hambatan dan kendala besar. Terutama terkait dengan sulitnya mendapatkan bahan baku, belum lagi soal permodalan. Kondisi kampung yang terkungkung TNKS juga menyulitkan Lukman menjual produksi usahanya.

Ia mengaku memang telah lama tidak “merimba”, terutama semenjak adanya imbauan para perimba turun gunung puluhan tahun lalu demi menjaga kelestarian hutan. Tidak hanya Lukman ratusan orang lainnya yang sebelumnya menggantungkan hidup di rimba tidak lagi masuk hutan.

Semenjak itu, ia beralih profesi menjadi pengrajin anyaman rotan. Pada awal memulai usaha, bahan baku memang tidak terlalu sulit didapatkan, karena di pinggir hutan saat itu rotan masih memungkinkan untuk didapatkan.

“Namun beberapa tahun terakhir  seiring pertambahan penduduk dan meningkatnya kebutuhan warga akan rotan dan sejenisnya menyebabkan usaha saya makin terseok seok,” kata Lukman di rumahnya.

Disebutkannya kesulitannya saat ini adalah rendahnya modal usaha. Harga satu meter rotan utuh mencapai Rp8000 ribu. Bahan mentah itu didapatkannya membeli kepada pedagang rotan.

“Dengan modal yang sangat minus ini, usaha yang saya tekuni tidak dapat berjalan dengan baik. Terkadang saya tidak dapat memenuhi pesanan pelanggan,” katanya.

Disebutkannya, hingga kini usahanya itu belum pernah mendapatkan bimbingan dari pihak manapun. Baik bimbingan teknis pembuatan anyaman maupun bimbingan untuk mengakses permodalan. Semuanya dilakukan secara otodidak.

Dari usahanya, Lukman bahkan kesulitan untuk menutupi kebutuhan harian. Penghasilannya tidak seberapa. Empat orang anaknya masing – masing Mariatin, Parmen, Fitri Mayani dan Ismael, sebagian masih tergantung padanya.

Lukman sedang membuat anyaman dari rotan

“Misalnya membuat niru (alat pembersih beras) saya harus mengelurkan biaya sebesar Rp18 ribu. Biasanya hanya dapat dijual Rp25 ribu. Namun karena modal sangat terbatas sayapun tidak dapat memproduksi lebih banyak. Dari situlah kami sekeluarga baru dapat membeli beras,” katanya.

Kini ia dan istrinya hanya akan berproduksi bila ada pemesanan. Produksi itu dapat berjalan jika ada pula kerelaan pemilik bahan mentah untuk meminjamkan bahan baku hingga produksinya telah terjual. Berat memang beban hidup yang ditanggung Lukman. 

Ia memang sering mendengar ada program bantuan masyarakat misalnya PKH atau bantuan permodalan dari perbankan, namun akses ke sana selalu tertutup dikarenakan banyak hal. Karena sulitnya mendapatkan permodalan, Lukmanpun berharap, usahanya ini mendapat dukungan dari para pemilik modal atau pemerintah.

Selain soal permodalan, letak Kampuang Akad yang jauh dari pusat ekonomi nagari juga menyulitkannya memasarkan produknya. Ia sulit mengetahui seberapa besar permintaan pasar.

“Suatu ketika saya pernah mencoba menjajakan beberapa produksi anyaman, namun dari pola pemasaran seperti itu ada hal lain terganggu yakni rendahnya jumlah produksi yang dihasilkan,” katanya.

Terakhir disampaikannya. Sebuah keranjang memakan biaya Rp75 ribu dengan nilai jual Rp100 ribu. Sementara tudung penutup nasi menelan biaya Rp 200 ribu dengan nilai jual menjapai Rp250 ribu.

0 Komentar

Tinggalkan Balasan