IKUTI
INFO PASISIRANCAK
  • 2 tahun yang lalu / info libur lebaran 2022 ekowisata penyu ampingparak: tiket masuk Rp10.000, sewa kano Rp25.000/30menit, sewa perahu listrik Rp150.000/jam
  • 2 tahun yang lalu / konservasi penyu ampingparak berencana realese 1.500 ekor tukik (anak penyu) saat libur lebaran 2022
  • 2 tahun yang lalu / Pokdarwis LPPL Amping Parak Sediakan Bibit Cemara Laut. Harga @15.000/batang
Ini Cemilan Ekstrim dari Kambang! (Batu Lunak)

Ini Cemilan Ekstrim dari Kambang! (Batu Lunak)

Oleh : admin - Kategori : Kambang / Kuliner
11
Apr 2022

Bagi sebagian orang, mendengar manusia makan batu akan terdengar aneh. Bahkan mungkin terdengar tidak masuk akal jika ada manusia sanggup makan batu dan di jadikan cemilan rutin. Lain halnya jika soal makan batu ditanyakan kepada orang tua kita yang tinggal di pelosok pelosok, terutama bagi mereka yang terbiasa makan sirih. Mereka akan menjelaskan dengan gamblang bagai mana batu di konsumsi orang. Batu yang dikonsumsi tersebut bernama batu lunak.

Batu lunak berasal dari jenis tanah mirip tanah liat kering berwarna agak putih, di lain daerah dikenal dengan batu napa. Biasanya jenis batu ini terdapat di kawasan perbukitan dan di hulu hulu sungai. Cara mengambilnya dengan memahat atau mencongkel bila lengket di batu lain, namun ada kalanya bisa didapatkan dalam sungai dengan cara menyelam. Dan tidak pula semua orang mengetahi mana batu yang layak dikonsumsi mana pula yang tidak.

Di Pesisir Selatan rupanya, batu untuk dikonsumsi ini masih dimanfaatkan orang meski belum ada penjelasan secara medis. Rupanya konsumen batu lunak tidak tergilas modernisasi. Berdasarkan pantauan penulis, masyarakat yang mengkonsumsi batu lunak tersebut tersebar di Kecamatan Sutera, Lengayang Ranah Pesisir dan Linggo Sari Baganti dan juga terdapat di Batang Kapas.

Iyas (60), warga Dusun Baru Nagari Kambang Kecamatan Lengayang merupakan salah satu pedagang batu lunak yang saban pekan menyediakan cemilan purba tersebut. Ia biasanya menggelar dagangan di Balai Kamis Kambang, Pasar Kambang dan Lakitan. Atau sekali sekali ke Sutera.

Menurutnya, batu lunak selalu dibeli warga ditempat ia menggelar dagangan, namun jumlahnya tidak terlalu banyak. Pembeli umumnya orang tua dan hanya sebagian kecil konsumennya orang muda. Konsumen batu lunak telah berkurang drastis semenjak dua puluh tahun terekhir.

“Oleh karena konsumen masih ada, saya selalu menyediakan batu lunak dalam jumlah terbatas, sesuai dengan kebutuhan pasar. Batu lunak hanyalah tambahan dagangan, karena selain batu lunak saya juga menjual bunga rampai dan harum haruman tradisional lainnya,” kata Iyas.

Iyas menjelaskan, konsumen batu lunak yang dijualnya umumnya untuk dikonsumsi atau untuk dimakan, dan sebagian kecil untuk obat. Rata rata pembeli memesan sebesar ibu jari kaki. “Agar tidak mengecewakan konsumen, bagaimanapun caranya saya tetap menyediakan. Saat ini mendapatkan batu lunak memang agak sulit, soalnya penambang atau tukang cari batu lunak sudah sangat terbatas,” katanya.

Batu lunak menurut Iyas, biasanya diperoleh dari Koto Pulai Kambang atau dari Ranah Pesisir. “Di dua tempat itu batu lunak terbilang bagus dan enak, makanya untuk memasok batu lunak saya percayakan kepada penambang atau pencari batu yang sudah ahli,” katanya Iyas sambil menunjukkan batu lunak yang telah jadi.

Dijelaskannya, sebelum dijual, batu lunak harus diproes lebih dahulu. Bongkahan batu di pecah menjadi ukuran sebesar ibu jari kaki. Lantas setelah itu di bakar diatas tungku hingga terjadi perobahan warna dan aroma. Warna batu akan menjadi kekuningan dan aromanya seperti kue sagun bakar.

“Jadi tidak bisa dijual langsung ke konsumen. Tujuan dibakar supaya kuman atau bakteri yang berkemungkinan hinggap di batu musnah. Selain itu juga bertujuan untuk menciptakan aroma batu menjadi harum. Saya juga dapat memperkirakan kapan saatnya stok batu habis, dan selanjutnya saya akan menghubungi pencari batu didua tempat tersebut, bila tidak ada di Koto Pulai, ya, di Balai Selasa,” katanya.

Inas (61) warga Kambang Barat, salah setu konsumen batu lunak menyebutkan, ia telah terbiasa mengkonsumsi batu semenjak masih remaja. Kebiasan itu diwarisi dari ibu dan neneknya. Inaspun mengaku, semenjak ia mengkonsumsi batu lunak tidak dirasakannya berdampak pada penurunan kesehatannya.

“Ya hingga kini saya masih mengkonsumsinya terutama bila maka sirih. Tidaklah lengkap kiranya bila makan sirih tidak disertai batu lunak. Oleh karena itu setiap hari balai bila stok dirumah telah habis saya membelinya. Bagi anak sekarang makan batu memang akan terdengar aneh, tapi bagi saya tidak,” katanya.

Mengenai rasa batu Inas menyebutkan, batu lunak yang belum dimasak atau dibakar rasanya agak sepat atau agak pahit, namun bila telah melalui proses pembakaran batu akan menjadi harum dan rasanya gurih. “Jangan bayangkan batu lunak sama dengan batu biasa. Batu lunak rapuh seperti kue bawang. Dulu, saat saya masih muda, dalam satu minggu bisa menghabiskan hampir seperdelapan kilo batu, namun kini tidak bisa lagi akibat gigi sudah tidak sekuat dulu lagi,” katanya.

0 Komentar

Tinggalkan Balasan